Bandar Lampung – Konsorsium Gerakan Pekerja Media Lampung membuka posko pengaduan bagi pekerja media yang mengalami problem dalam hubungan industrial dengan perusahaan. Pembukaan posko tersebut berbarengan dengan diskusi publik yang digelar di Teman Kopi, Kecamantan Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu, 25 Februari 2023.
Koordinator Konsorsium Derri Nugraha menuturkan, posko tersebut berangkat dari kondisi jurnalis dan pekerja media yang semakin rentan. Mereka kerap dihadapkan dengan kebijakan perusahaan yang merugikan pekerja seperti gaji tidak dibayarkan, pemotongan dan penundaan pembayaran upah, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
“Jadi, jurnalis dan pekerja media yang mengalami persoalan tersebut bisa mengadu ke posko. Nantinya, pengadu bisa mendapat konsultasi hukum secara gratis,” kata Derri.
Mekanisme pengaduan melalui hotline 0821-8222-2070 atau langsung mendatangi pusat posko di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Gang Mawar 1, Kelurahan Gedong Air, Kecamatan Tanjungkarang Barat,Bandar Lampung. Jurnalis atau pekerja media yang mengadu juga akan diminta mengisi formulir online lewat https://tinyurl.com/PengaduanPekerjaMedia .
“Kami akan merahasiakan seluruh data pribadi dan informasi yang disampaikan,” ujar Derri.
Sementara, diskusi publik bertajuk “Buram Nasib Pekerja Media di Lampung” itu dipandu jurnalis Lampung Post Umar Rabbani dengan Tiga narasumber. Ketiganya, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim, Wakil Direktur LBH Bandar Lampung Cik Ali, serta Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandar Lampung Hardiansyah.
“Jurnalis dan pekerja media memang rentan mengalami PHK atau menerima kebijakan yang merugikan. Maka penting bagi karyawan perusahaan media mendirikan serikat pekerja. Sehingga, pekerja memiliki daya tawar dengan perusahaan,” kata Sasmito.
Sasmito menilai, perusahaan dan jurnalis memiliki relasi kuasa yang jomplang. Namun, dengan serikat pekerja bisa membuat posisi tersebut menjadi setara. Ketika ada kasus PHK maupun peraturan perusahaan yang tidak berpihak kepada pekerja media bisa dinegosiasikan melalui serikat pekerja media, misalnya dengan membuat perjanjian kerja bersama atau PKB.
“Dengan berserikat setidaknya ketika ada PHK atau kasus terkait ketenagakerjaan, pekerja bisa saling bersolidaritas dan memperjuangkan hak-hak bersama,” ujar Sasmito.
Urgensi berserikat itu juga disampaikan Cik Ali. Ia menjelaskan, jika pekerja tak berserikat, maka lebih rentan di PHK dan tak mendapat hak-hak normatifnya. Sebab, ia melihat dari beberapa kasus yang ditangani LBH Bandar Lampung, perusahaan sering mengakali peraturan ketenagakerjaan.
“Kami menyebutnya penyelundupan hukum, misalnya perusaahan tak memberikan slip gaji kepada pekerja. Sehingga, ketika terjadi perselisihan, pekerja kesulitan memperjuangkan hak-haknya,” ujarnya. Maka, berserikat merupakan keniscayaan bagi jurnalis dan pekerja media supaya perusahaan tidak sewenang-wenang.
Sementara itu, Hardiansyah mengatakan, serikat merupakan wadah bagi pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya. Namun, memang terkadang perusahaan antipati dengan serikat.
“Tapi, pekerja tak perlu takut untuk mendirikan serikat. Sebab, hal itu merupakan hak mutlak pekerja yang dijamin konstitusi,” ujarnya.
Hardiansyah juga mengingatkan, perusahaan memiliki kewajiban mensosialisasikan hak pekerja secara terbuka. Sehingga, ada transparansi.
Konsorsium Gerakan Pekerja Media terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Selain AJI, organisasi yang tergabung dalam konsorsium ini, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, LBH Pers Lampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, dan Aliansi Pers Mahasiswa Lampung.(*)












