REVISI UU PEMILU Jangan ½ HATI

Oleh: Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)

REVISI HARGA MATI
Dengan membandingkan penyelenggaraan dan hasilnya, Pemilu 1955 dan 1999 dinyatakan sejumlah pengamat, pelaku politik, dan akademisi yang dianggap sebagai Pemilu terbaik yang pernah terjadi di Indonesia, maka Pemilu 2024 dinyatakan sebagai pemilu terburuk dari perspektif penyelenggaraannya, maupun pada hasil yang menghadirkan formasi dan komposisi keterwakilan pada lembaga Legislatif pada strata parlemen pusat sampai kedaerah-daerah yang kurang membanggakan untuk dapat dikatakan sebagai representasi mewakili dari proses penggunaan kedaulatan rakyat melalui mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan yang disebut Pemilu.

Sebuah Pemilu yang diikuti oleh Partai Politik yang (hanya) bersemangat berupaya untuk menang dan meraih suara pemilih tertinggi yang dikonversikan dengan jumlah kursi pada parlemen dengan cara menempatkan ‘perwakilan’ Partainya yang lebih mengedepankan popularitas, dan atau yang memiliki ‘energi politik’ untuk dapat membiayai kebutuhan pemenangan nya pada saat kontestasi pemilihan, dan berakibat sedikit mengabaikan untuk diprioritaskan pada ‘nomor jadi’ pada susunan calon anggota legislatif yang ditawarkan kepada Pemilih pada kertas suara.

Pemilu 2024 lebih memberi peluang dan kesempatan kepada figur populer, oligarki, dan kartel politik yang bernada politik koncoisme dan politik dinasti dibanding terhadap figur yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sudah teruji pada ruang publik, hal ini dapat disaksikan dari wajah (sebagian) parlemen saat ini yang lebih menampilkan aksi theaterikal, berleha-lena dengan fasilitas dan tunjangan tanpa mengedepankan kinerja.

Fenomena yang demikian itu dapat dimaknai sebagai antitesis terhadap kecenderungan submisif dan kolaboratif Partai dengan kepentingan elitnya sendiri, dan itu membuat semakin berjarak dengan keadaan dan kepentingan konstituen, inilah salah satu trigger penyebab eskalasi gerakan sipil, mahasiswa dan pemuda yang melampiaskan kekesalan dan kemarahannya yang kecewa karena aspirasinya ditanggapi dengan cara yang tidak diharapkan.

Pemilu 2024 terselenggara tanpa pajangan ideologi dan program yang dekat dan diharapkan sebagai solusi atas berbagai problem bangsa, itulah juga yang semakin menjadikan pesta demokrasi itu menjadi tidak menarik dan penuh tantangan, justru di banyak tempat Pemilu ‘diselesaikan’ dengan pendekatan transaksional untuk meraih kemenangan.

Dari perspektif regulasi, Pemilu 2024 juga tidak menggunakan regelasi yang di-update dengan perkembangan masyarakat komtemporer, melainkan masih menggunakan regulasi usang yaitu UU 7/ 2017 yang dijadikan landasan hukum Pemilu 2019, yang tentu saja situasi, keadaan sosial dan politik masyarakat termasuk perkembangan teknologinya sudah sangat berbeda dengan keadaan ketika Pemilu 2024 diselenggarakan.

Bukankah hukum itu mengikuti perkembangan masyarakatnya, dan senyatanya hukum yang dijadikan dasar penyelengaraan Pemilu 2024 tetapi tidak diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya, dapat dikatakan sebagai hukum yang tertinggal dari perkembangan masyarakatnya.

PEMBAHARUAN SISTEM POLITIK
Memperhatikan kompleksitas persoalan yang melingkupi penyelenggaraan kepemiluan 2024 lalu, sebagaimana ciri negara demokrasi itu adalah terselenggaranya Pemilu dengan segala keteraturannya, dan dipahami bahwa Pemilu itu merupakan mekanisme berdemokrasi, maka menjadi kebutuhan bagi bangsa ini untuk memperbaharui sistem politik kontemporer Indonesia.

Perbaikan sistem politik untuk menjawab dan menghadirkan kekuasaan yang akan menjalankan pemerintahan pintu masuknya melalui pembaharuan paket UU politik, diantaranya regulasi berkaitan dengan Pemilu, Partai Politik, Perwakilan, dan Pilkada dalam keterpaduan dan nafas yang sama agar terdapat koherensi didalamnya sebagai sebuah sistem politik.

Namun bila ditilik dari 67 RUU Prolegnas prioritas tahun 2026 sebagaimana disepakati bersama antara Badan Legislasi (Baleg) DPR, Panitia Perancang UU DPD, dan Kementerian Hukum, telah memasukkan revisi UU Pemilu salah satu UU prioritas yang akan dibahas, meskipun didalamnya belum memprioritaskan pembahasan paket UU politik lainnya.

Pada dasarnya pembahasan beberapa UU terkait sebagai bagian dari paket UU politik, tetap dibutuhkan untuk menghadirkan koherensi didalam paket UU politik itu sendiri, dalam selaras ‘nafas’ yang sama, meskipun tidak dilakukan revisi dan pembahasan dalam satu waktu, setidaknya revisi paket UU politik lainya diharapkan tidaklah berjauhan dan masih dalam ‘koridor’ waktu yang cukup untuk diberlakukan sebagai bagian atau subsistem penyelenggaraan Pemilu pada tahun 2029.

Memperhatikan kompleksitas persoalan dari penyelenggaraan Pemilu 2024, mulai dari UU Pemilu, penyusunan caleg oleh Parpol yang akan tersaji pada kertas suara yang akan dipilih oleh pemilih, penyelenggara Pemilu, penggunaan teknologi dan digitalisasi, sistem Pemilu yang akan digunakan, partisipasi dan legitimasi baik secara hukum maupun politik, formasi dan kualitas Parlemen yang mumpuni yang mampu mewakili kepentingan rakyat sebagai pemilih, sampai pada hal-hal teknis lainnya tentu saja membutuhkan kajian, masukan, dan dialektika yang melibatkan segenap stake holders dengan pendekatan meaningful participation (partisipasi yang bermakna) yang dipahami sebagai (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan, sebagaimana disitir dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (hal. 393).

Pembahasan revisi UU Pemilu yang terbilang ‘mepet’ waktunya (bila merujuk pada ketentuan UU 7/ 2017; hal mana penyelengara Pemilu 2029 diawali dengan tahapan yang dimulai satu tahun sebelumnya, serta pengangkatan penyelenggara Pemilu 20 bulan sebelum Pemilu 2029 diselenggarakan, yang berarti medio tahun 2026 UU Pemilu hasil revisi idealnya sudah harus selesai dan diundangkan), maka pembahasan revisi Pemilu setidaknya jangan ‘setengah hati’ baik secara materiilnya, maupun dalam perspektif koherensi dengan paket UU Politik lainnya yang juga dibutuhkan untuk direvisi yaitu UU Partai Politik dan UU Pilkada dengan pendekatan kodifikasi sebagaimana diamanatkan UU 59/ 2024.

Hasil revisi UU Pemilu juga diharapkan bisa mengantisipasi dan menjawab kebutuhan pembangunan kepemiluan untuk 20 tahun kedepan dalam upaya menghadirkan system building kepemiluan Indonesia, kecuali terhadap hal-hal teknis yang tetap harus firm terhadap perubahan dan kemajuan, tentang tehnologi dan digitalisasi misalnya.

Revisi UU Pemilu akan menjadi taruhan bagi hadir dan terbangunnya postur dan kinerja kelembagaan parlemen yang akan menjalankan kekuasaan hasil Pemilu 2029, jika bangsa ini abai dalam menatanya maka akan menghadirkan tata kelola kekuasaan sebagaimana konfigurasi setengah hati dan tidak terlalu diharapkan bisa menghadirkan kebaikan bagi Indonesia kedepan. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *