MALANG – Kenaikan harga bahan pangan pokok kerap menjadi isu yang sensitif di tengah masyarakat Indonesia. Salah satu komoditas yang paling terdampak dan diperhatikan adalah beras, mengingat perannya yang sangat vital dalam memenuhi kebutuhan konsumsi harian penduduk.
Fenomena melonjaknya harga beras yang terjadi sepanjang tahun 2023 hingga awal 2024 telah memicu kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Namun di sisi lain, respons konsumen terhadap kenaikan harga ini tampak tidak terlalu drastis, mencerminkan adanya ketidakelastisan dalam permintaan beras.
Melalui kajian elastisitas permintaan, kita dapat melihat lebih dalam bagaimana perubahan harga memengaruhi jumlah permintaan atas suatu barang, dalam hal ini beras.
Esai Mahasiswi Universitas Brawijaya, Farisah Firdausy Akhrasy Ahmad ini bertujuan untuk mengkaji fenomena tersebut dengan pendekatan ekonomi mikro, khususnya konsep elastisitas harga permintaan, guna memahami pola konsumsi masyarakat Indonesia dalam menghadapi dinamika harga beras.
Analisis ini penting untuk mendukung perumusan kebijakan pangan yang lebih adaptif, adil, dan tepat sasaran dalam menjaga kestabilan pasar dan ketahanan pangan nasional.
BACA JUGA: Pasca Terpilih, Presiden PKS Al Muzzammil Yusuf Kunjungan Pertama ke Lampung
KENAIKAN HARGA BERAS DAN RESPONS KONSUMEN: KAJIAN ELASTISITAS PERMINTAAN DI INDONESIA (Esai Farisah Firdausy Akhrasy Ahmad – Universitas Brawijaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Program Studi Ekonomi Pembangunan)
Beras, yang berperan sebagai makanan pokok utama bagi lebih dari 270 juta penduduk Indonesia, menduduki posisi krusial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas ini menyebabkan fluktuasi harga beras tidak terlalu signifikan dan permintaannya relatif stabil. Hal ini menjadikan beras sebagai contoh klasik dalam analisis elastisitas permintaan.
Dalam beberapa waktu terakhir, terutama sepanjang tahun 2023 hingga 2024, harga beras mengalami kenaikan yang cukup tajam akibat berbagai faktor, seperti perubahan iklim, gangguan distribusi, hingga penurunan produksi.
Peningkatan harga tersebut menimbulkan dampak ekonomi, seperti penurunan permintaan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, meskipun harga melonjak, konsumsi beras tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa daya respons konsumen terhadap harga beras tergolong rendah.
Melalui esai ini, akan dikaji secara lebih dalam pendekatan elastisitas harga permintaan yang berperan penting untuk melihat sejauh mana konsumen bersedia dan mampu menyesuaikan jumlah konsumsi beras ketika harga mengalami perubahan.
BACA JUGA: Program Pemutihan Pajak Kendaraan Tahun 2025, Cek Info Pemutihan di I-PESAT
Konsep Elastisitas dan Karakter Permintaan Beras di Indonesia
Dalam teori ekonomi mikro, elastisitas permintaan merupakan derajat kepekaan fungsi permintaan terhadap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel yang memengaruhinya.
Istilah ini juga dapat diartikan sebagai persentase perubahan kuantitas yang diminta sebagai akibat dari 1% perubahan pada salah satu variabel yang memengaruhi permintaan suatu barang (Maulana et al., 2021).
Ketika suatu barang bersifat inelastis, kenaikan harga tidak secara signifikan menurunkan permintaan. Dalam hal ini, beras merupakan komoditas yang termasuk dalam kategori tersebut karena merupakan kebutuhan pokok dan jarang memiliki barang pengganti yang sepadan, khususnya di Indonesia.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mengonsumsi beras setiap hari, sehingga perubahan harga cenderung tidak secara langsung mengubah permintaan konsumen. Hal ini turut memengaruhi elastisitas permintaan beras dalam jangka pendek (Sapthu et al., 2023).
Selain itu, proporsi pengeluaran untuk beras cukup besar bagi masyarakat berpendapatan rendah, yang menyebabkan mereka tetap membeli beras meskipun harus mengurangi konsumsi barang lain.
Berdasarkan data dari Badan Pangan Nasional, kenaikan harga beras sepanjang 2023 hingga awal 2024 mencapai 13% di beberapa wilayah, baik untuk beras premium maupun medium.
Kondisi ini terjadi akibat fenomena El Nino atau kemarau panjang, keterlambatan distribusi, serta penurunan produksi beras.
Beberapa studi akademik di Indonesia menunjukkan bahwa permintaan beras di sebagian besar wilayah bersifat inelastis terhadap harga, dengan koefisien elastisitas harga cenderung berada di bawah 1, meskipun tidak ada angka pasti yang disepakati secara nasional.
Sebagai contoh, studi di Ambon menunjukkan bahwa konsumsi beras tidak mengalami perubahan signifikan meskipun harga meningkat. Sementara itu, studi di Medan menunjukkan bahwa koefisien elastisitas hanya sebesar -0,52 atau inelastis.
Artinya, permintaan beras tidak responsif terhadap perubahan harga karena konsumen tidak memiliki banyak alternatif untuk beralih ke komoditas lain.
Sifat permintaan beras yang inelastis memberikan dampak yang cukup berat bagi konsumen, khususnya rumah tangga miskin. Ketika harga naik, beban pengeluaran meningkat, tetapi konsumsi beras tidak dapat dikurangi secara signifikan.
Hal ini menyebabkan penurunan surplus konsumen dan berpotensi memperbesar angka kerentanan pangan.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan intervensi melalui program seperti operasi pasar dan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) oleh Bulog.
Tindakan ini bertujuan menjaga daya beli masyarakat serta memastikan akses terhadap beras tetap terjaga. Dalam konteks efisiensi pasar, campur tangan pemerintah menjadi penting ketika pasar gagal melindungi kelompok rentan akibat sifat permintaan yang tidak elastis.
BACA JUGA: Sikapi Pernyataan Kuasa Hukum Nasabah Soal Pengosongan Rumah, Ini Klarifikasi BRI Tulangbawang
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Kenaikan harga beras di Indonesia dalam kurun waktu 2023–2024 menunjukkan bahwa beras merupakan barang kebutuhan pokok dengan permintaan yang inelastis.
Meskipun terjadi lonjakan harga, jumlah permintaan tidak menurun secara signifikan karena beras tetap menjadi konsumsi utama sebagian besar masyarakat.
Analisis elastisitas permintaan ini memberikan gambaran penting bagi perumusan kebijakan, terutama dalam memastikan keterjangkauan harga dan ketersediaan pasokan.
Intervensi pemerintah melalui program seperti SPHP dan operasi pasar menjadi strategi yang relevan untuk menjaga stabilitas pasar dan melindungi kelompok masyarakat rentan.
Dengan memahami karakteristik elastisitas permintaan beras, kebijakan pangan di masa depan dapat lebih tepat sasaran dan responsif terhadap dinamika harga di pasar.
BACA JUGA: Transaksi Gak Libur, BRImo Tetap Aktif Saat Kamu Liburan
Daftar Pustaka
Maulana, A., & Safarida, N. (2021). Analisis tingkat elastisitas permintaan dan penawaran ayam potong di pasar kota Langsa. JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 173–198.
Louhenapessy, Y., Manuhuttu, L. M., & Latumeten, E. (2024). Analisis elastisitas permintaan beras rumah tangga miskin di Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan, 23(1), 18–25. https://doi.org/10.35965/jiep.v23i1.1696
Sembiring, D., Harahap, D. A., & Sembiring, F. A. (2023). Analisis elastisitas permintaan dan penawaran beras di Kota Medan. Jurnal Agroekonomi dan Sosial Ekonomi Pertanian, 5(2), 145–152. https://doi.org/10.31289/agroekonomi.v5i2.7589
Risty, C. T., & Iskandarini, G. (2013). Elastisitas permintaan beras organik di Kota Medan. Journal of Agriculture and Agribusiness Socioeconomics, 2(2), 15021.