Bandarlampung – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Provinsi Lampung, Penta Peturun mengkritisi proses pengesahan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023, Selasa (12/7) kemarin. Dia menilai pemerintah maupun DPR RI tidak mengindahkan kritikan masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik dalam proses pengesahan suatu undang-undang.
Menurutnya, hak partisipasi publik bagian dari memenuhi rasa keadilan untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kemudian, hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered) dan masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). “Namun hal demikian, tidak dilakukan oleh pihak pemerintah maupun DPR dalam merumuskan UU Kesehatan baru,” tegas Penta, Rabu (12/7).
Penta menjelaskan, kritikan terhadap ominibus law RUU kesehatan berawal tidak Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020.
Menurutnya lagi, Partisipasi publik sangat penting menjamin hasil UU memenuhi rasa keadilan (social justice) dan perlindungan kesehatan publik. “Namun Hal ini melenceng dari amanah UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” kata dia.
Disampaikannya, dalam UU kesehatan baru Pasal 314 ayat (2) sebagai marginalisasi organisasi profesi dengan mengamputasi peran organisasi tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.
“Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi, dikontrol oleh pemerintah melalui Menkes, sama seperti masa Orde Baru mencengkram kebebasn berorganisasi,” jelas Penta yang juga Wasekjen DPP IKADIN ini.
Lebih lanjut, juga pasal aturan terkait mandatory spending alias wajib belanja. Dalam Pasal 171 UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan sebelum direvisi, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dalam UU Kesehatan baru untuk kesehatan sebesar 5 persen resmi dihapus oleh Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023, Selasa (11/7).
“Karena kedepan mengerikan sekali UU Kesehatan baru ini, mengarah liberalisasi tidak pro Rakyat tapi sistem kesehatan dengan privatisasi/komersialisasi layanan kesehatan sebagai komoditi,” ungkap Penta Peturun mantan Direktur LBH Bandar Lampung.
Nyatanya, sebelum UU disahkan pemerintah (Kemenkes) sudah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan The Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) untuk agenda transformasi pelayanan kesehatan yang melibatkan sektor swasta pada 8 Juni lalu.
“Proritas kesehatan untuk rakyat tidak menjadi tanggung jawab negara. Kesehatan gratis terutama untuk kamu miskin akan menjadi dongeng di Indonesia,” jelasnya. (*).