Mukhlis Basri Ajak Warga Toleran Bermedsos

Bandarlampung – Anggota Komisi I DPR RI, Mukhlis Basri mengajak masyarakat untuk mengedepankan sikap toleransi dalam menggunakan media sosial (medsos). Menurutnya, hal itu penting dilakukan guna menekan dampak negatif dari medsos seperti maraknya ujaran kebencian.

Hal itu disampaikan Mukhlis Basri saat menjadi narasumber dalam webinar Ngobrol Bareng Legislator dengan tema ‘Literasi Kecakapan Digital: Teknologi Merajut Toleransi’ yang digelar secara virtual, Senin (15/5). Hadir juga sebagai narasumber Kaprodi PPKN FKIP Unila, Yunisca Nurmalisa dan Dosen Ilmu Politi UPN Veteran Jakarta.

“Di era digital saat ini, media sosial memegang peranan yang sangat penting dalam kebutuhan bersosialisasi dan komunikasi. Kecakapan digital dalam bermain media sangat dibutuhkan, untuk menghadirkan masyarakat digital yang toleran,” terang politisi PDI Perjuangan ini.

Menurutnya, penyebaran pesan intoleran di media sosial cenderung meningkat menjelang Pilkada ataupun Pilpres yang sarat dengan muatan politik. Selain dampak positif, dampak negatif lainnya dari medsos yakni maraknya bermunculan ujaran kebencian.

“Salah satu penyebab dari hal ini adalah maraknya pengguna medsos yang hanya ikut-ikutan saja, baik menyebarkan atau membuat unggahan yang sama tanpa mengetahui maksud, pesan asli, jenis dari sebuah unggahan karena sedang ramai diperbincangkan,” beber mantan Bupati Lampung Barat dua periode ini.

Menurutnya juga, kemunculan ujaran kebencian dan rasisme di media sosial disebabkan oleh relasi yang tidak seimbang antara teknologi dan kehidupan sosial sehari-hari. “Jika teknologi digunakan oleh seseorang atau komunitas yang tidak paham mengenai manfaat dari perkembangan teknologi, maka akan muncul potensi terjadinya hal yang tidak diinginkan,” ujar Sekretaris Pengurus Daerah Tenaga Pembangunan (Pengda TP) Sriwijaya Lampung ini.

Selain itu, lanjut dia, anak muda merupakan salah satu subjek yang rawan sekali mencerna dan terkena hal-hal negatif yang ada pada media sosial. “Karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka pada platform tersebut, serta informasi yang ada pada sosial media disajikan tanpa dilakukan filter terlebih dahulu oleh system, mengenai apakah layak untuk ditampilkan atau tidak,” ujarnya.

Mukhlis mengatakan, masyarakat Indonesia secara garis besar sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka paham dan mengerti mengenai ujaran kebencian di media sosial.

Namun, kebanyakan dari mereka hanya memilih untuk tidak melakukan apa-apa atau bahkan membiarkan saja unggahan tersebut tetap ada di medsos dengan alasan asalkan objek yang menjadi target ujaran kebencian bukan merupakan kelompok mereka.

Lebih lanjut, WhatsApp group digunakan sebagai salah satu bentuk dari sebuah komunikasi dan tempat pertukaran informasi, yang mayoritas penggunanya secara tidak sengaja ikut dalam aksi menyebarkan berita hoax, dan ujaran kebencian yang disebabkan oleh pola pikir “sharing is caring”. Kebanyakan hal itu dilakukan tanpa melakukan cross check kebenaran informasi yang ada terlebih dahulu.

“Jadi diperoleh kesimpulan, yaitu masyarakat Indonesia secara garis besar sudah menunjukkan tanda-tanda, bahwa mereka paham dan mengerti mengenai sebuah ujaran kebencian di media sosial, serta mayoritas juga sudah sesuai dalam memberikan pendapat yaitu unggahan tersebut adalah sebuah unggahan yang tidak tepat atau salah,” pungkasnya.

Diketahui, bahwa untuk tahun 2020, sebanyak 9,6 juta ujaran kebencian telah dihilangkan oleh Facebook. Tahun ke tahun, terjadi peningkatan jumlah ujaran kebencian yang dihilangkan oleh Facebook.

Sebanyak 3,9 juta para penyebar ujaran kebencian di sosial media, mayoritas menggunakan nama samaran untuk akun mereka, dengan tujuan untuk menghindari diketahuinya identitas asli mereka. Selain itu mereka umumnya menargetkan akun-akun yang memiliki jumlah pengikut yang banyak, atau akun yang memiliki tingkat aktivitas yang tinggi. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *